NMM. Artikel – Sikerei adalah sosok yang sangat dihormati dalam kehidupan masyarakat adat Mentawai, sebuah suku yang mendiami Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, Indonesia. Sebagai dukun, tabib, sekaligus pemimpin spiritual, peran Sikerei sangat penting dalam menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh-roh yang dipercaya mendiami dunia ini.
Peran dan Tugas Sikerei
Sikerei memiliki tanggung jawab besar dalam kehidupan masyarakat Mentawai. Ia bertindak sebagai:
- Pemimpin Spiritual
Sikerei memimpin berbagai upacara adat, seperti ritual penyembuhan, persembahan kepada roh leluhur, dan perayaan panen. Ia dipercaya mampu berkomunikasi dengan roh-roh untuk meminta perlindungan atau kesembuhan bagi masyarakat. - Tabib Tradisional
Sikerei memiliki pengetahuan mendalam tentang tanaman obat yang ada di hutan Mentawai. Dengan kearifan lokal, ia meramu berbagai jenis obat untuk mengobati penyakit fisik dan spiritual. - Penjaga Tradisi
Sikerei adalah penjaga tradisi dan nilai-nilai budaya Mentawai. Ia mewariskan kearifan lokal melalui cerita, lagu, dan tarian yang dilakukan dalam berbagai upacara adat. - Mediator Harmoni
Dalam pandangan masyarakat Mentawai, harmoni antara manusia, alam, dan roh sangat penting. Sikerei bertugas menjaga keseimbangan ini melalui ritual-ritual tertentu agar komunitas tetap dalam keadaan damai dan sejahtera.

Proses Menjadi Sikerei
Menjadi seorang Sikerei bukanlah hal yang mudah. Prosesnya melibatkan pembelajaran mendalam tentang adat istiadat, ritual, dan pengetahuan tanaman obat. Biasanya, calon Sikerei adalah individu yang dianggap memiliki “bakat” khusus untuk berkomunikasi dengan roh. Mereka akan menjalani pelatihan panjang di bawah bimbingan Sikerei senior.
Selama proses ini, calon Sikerei harus memahami berbagai ritual, seperti punen, yaitu upacara adat untuk menghubungkan diri dengan dunia roh, serta mempelajari teknik penyembuhan menggunakan tanaman obat dan mantra-mantra sakral.
Ritual dan Simbolisme
Ritual yang dipimpin oleh Sikerei sering kali melibatkan tarian, musik tradisional menggunakan gajeuma (gendang kecil), dan nyanyian sakral. Salah satu aspek menarik dari budaya Sikerei adalah penggunaan tato tradisional Mentawai, yang bukan hanya berfungsi sebagai seni tubuh, tetapi juga memiliki makna spiritual. Tato-tato ini dipercaya melindungi pemiliknya dari roh jahat dan menjadi simbol identitas suku.
Tantangan yang Dihadapi Sikerei
Dalam era modernisasi, peran Sikerei menghadapi tantangan besar. Kehadiran agama-agama baru, pendidikan formal, dan arus globalisasi mulai menggerus kepercayaan masyarakat terhadap adat istiadat tradisional. Banyak generasi muda yang kurang tertarik untuk melanjutkan tradisi ini, sehingga jumlah Sikerei semakin berkurang.
Selain itu, eksploitasi hutan yang menjadi habitat tanaman obat tradisional juga mengancam keberlangsungan praktik pengobatan alami Sikerei. Hilangnya sumber daya alam ini tidak hanya memengaruhi kehidupan spiritual masyarakat Mentawai, tetapi juga keberadaan Sikerei itu sendiri.
Upaya Pelestarian Tradisi Sikerei
Berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan organisasi non-pemerintah, telah berupaya melestarikan tradisi Sikerei. Beberapa langkah yang dilakukan meliputi:
- Pendidikan dan Dokumentasi
Tradisi dan pengetahuan Sikerei didokumentasikan dalam bentuk tulisan, foto, dan video agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang. - Festival Budaya
Festival seperti Festival Pesona Mentawai diadakan untuk mempromosikan budaya Sikerei dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kekayaan tradisi lokal. - Pelatihan Generasi Muda
Generasi muda dilibatkan dalam pelatihan untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan Sikerei, sehingga tradisi ini tetap hidup.
Kesimpulan
Sikerei adalah simbol kearifan lokal masyarakat Mentawai, yang merepresentasikan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas. Meski menghadapi berbagai tantangan di era modern, upaya pelestarian tradisi ini harus terus dilakukan agar warisan budaya Mentawai tetap hidup dan dikenal oleh dunia. Dengan menjaga keberadaan Sikerei, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menghormati identitas dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Penulis : Silvester Suntoro Sarogdok