Bisnis yang seharusnya menjadi lahan pengusaha lokal ikut di rangsek
Saat ini seperti contoh di Katiet, di Tuapejat, di Kawasan pulau Awera dapat dijumpai pembangunan Villa yang sangat marak dengan dalih bukan untuk tujuan komersial, namun rumah pribadi yang langsung ditangani langsung oleh WNA pemilik properti tanpa melibatkan pihak ketiga yang memiliki lisensi usaha jasa konstruksi.
“Mereka sudah langsung turun tangan untuk memobilisasi tenaga kerja yang didatangkan dari luar Mentawai,belanja Bahan bangunan dari Padang bahkan mengawasi langsung kontruksi tanpa melibatkan Jasa Konsultan Pengawas” sebutnya.
Lebih mirisnya lagi diantara mereka dapat ditemui langsung terlibat dalam pertukangan. Namun yang lebih parah lagi sebelum memulai kontruksi tidak mengantongi izin seperti PBG (Persetujuan Bangunan Gedung).
“Saat ini diduga diantara mereka yang melakukan aktifitas bisnis dipastikan banyak melakukan pelanggaran keimigrasian seperti tidak mengantongi izin Kerja Tenaga Kerja asing,Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS), ucapnya lagi.
Sebagai contoh ada seorang WNA yang yang berdomisili di Katiet melakukan berbagai macam profesi seperti Manager sebuah resort atau Villa, namun dia juga menjadi makelar property di daerah itu dengan mencarikan tanah untuk pendirian resort/villa serta bertanggung jawab langsung untuk melaksanakan proyek konstruksinya dan memasarkannya sebagai agen property.
Ketika media ini menanya identitas WNA tersebut pria yang dikenal kritis terhadap isu-isu eksploitasi ketidak keberpihakan terhadap kaum marjinal ini hanya menyampaikan identitasnya bahwa WNA ini dikenal memiliki banyak property di katiet dan menjadi Manager di salah satu resort di katiet. Sehingga diapun bingung Dokumen izin kerja apa yang dia kantongi si WNA itu, apakah sebagai manager resort, kontraktor, makelar property atau investor.
Itulah salah satu sampel cara mafia WNA mengeksploitasi daerah kita dengan dalih memajukan pariwisata. Untuk itu dia berharap pihak imigrasi harus menempatkan petugasnya secara rutin melakukan pengawasan terhadap keberadaan para WNA ini di Mentawai dengan julukan nama bumi sikerei itu.
“Di media sosial juga banyak iklan mereka berseliweran, menjual properti di Mentawai. Kalau mereka melakukan itu apa dasar legalisasinya, apakah mereka sudah mengantongi dokumen yang semestinya?” beber Pria yang menguasai dua Bahasa Asing ini yaitu Bahasa Prancis dan bahasa inggris.
Hal ini dapat ditelisik dari menjamurnya properti bodong, tidak berizin, dan dibangun tanpa memerhatikan potensi kerusakan lingkungan, fasilitas publik, dan nilai kebudayaan di Mentawai.
Dalam konsep ini, Zuando merasa keberatan sebagai pengusaha lokal yang taat regulasi dan pajak harus ikut menanggung kerusakan yang diakibatkan WNA yang mendirikan bisnis ilegal. Pajak dan perusahaannya bayar ke pemerintah dipakai menutupi kerusakan itu dan memproteksi para TKA bebas berbisnis yang seharusnya dilakukan pengusaha lokal.
“Sementara kita melihat, pemerintah yang memperbaiki tapi kita yang membayar melalui pajak. Saya secara personal merasa keberatan di mana perusahaan saya sudah melakukan kewajiban tapi digunakan menutupi orang-orang yang seharusnya tidak berkepentingan,” imbuh Aktivis Mahasiswa 98 ini
Zuando berharap, keresahan ini bisa disuarakan oleh pemimpin dan wakil-wakil rakyat Mentawai yang berani, guna menertibkan pengusaha nakal khususnya WNA yang beraktivitas di kepulauan Mentawai.